Mengenal Toxic Masculinity 2025: Menjadi Pria “Tangguh” Terkadang Justru Menyakitkan

TEGAROOM – Dunia modern saat ini sedang membicarakan banyak perubahan besar mengenai cara kita memandang peran gender. Salah satu istilah yang paling sering muncul di media sosial, podcast, hingga obrolan santai di kafe adalah toxic masculinity. Meskipun istilah ini terdengar sangat akademis atau bahkan bagi sebagian orang terasa seperti serangan terhadap kaum pria, sebenarnya toxic masculinity adalah konsep yang sangat relevan dengan kesehatan mental dan kebahagiaan pria itu sendiri. Memahami fenomena ini bukan berarti kita membenci pria atau ingin menghapus kejantanan, melainkan mencoba membedah mana standar kejantanan yang sehat dan mana yang justru merusak jiwa.

Secara sederhana, toxic masculinity adalah kumpulan standar perilaku pria yang dianggap sempit dan mengekang. Standar ini memaksa pria untuk selalu tampil dominan, agresif, dan sama sekali tidak boleh menunjukkan emosi selain kemarahan. Bayangkan seorang anak laki-laki yang terjatuh dan lututnya berdarah, namun orang dewasa di sekitarnya berkata agar dia jangan menangis karena laki-laki harus kuat. Di sinilah bibit toxic masculinity mulai ditanamkan. Kita mengajarkan anak-anak bahwa kerentanan adalah sebuah kelemahan, padahal menjadi manusia berarti memiliki perasaan yang kompleks.

Dampak dari budaya ini sangat nyata dan mendalam. Banyak pria dewasa yang akhirnya kesulitan untuk mengekspresikan rasa sedih atau takut mereka kepada pasangan atau sahabat. Karena mereka dididik untuk memendam semuanya sendiri, emosi tersebut seringkali meledak dalam bentuk rasa frustrasi atau perilaku kasar. Ini adalah lingkaran setan yang tidak hanya merugikan wanita di sekitar mereka, tetapi juga menghancurkan kesejahteraan mental pria itu sendiri. Pria yang merasa harus selalu menjadi pemenang dan tidak boleh terlihat gagal seringkali mengalami tingkat stres yang luar biasa tinggi tanpa tahu ke mana harus mencari bantuan.

Akar Budaya dan Bagaimana Standar Kejantanan Terbentuk di Masyarakat

Untuk memahami mengapa toxic masculinity begitu kuat mengakar, kita harus menilik kembali bagaimana masyarakat kita dikonstruksi sejak dulu. Sejak kecil, anak laki-laki sering diberikan mainan yang bersifat agresif atau kompetitif, sementara anak perempuan diarahkan pada hal-hal yang bersifat mengayun dan merawat. Perbedaan ini sebenarnya tidak masalah jika hanya sebatas pilihan mainan, namun masalah muncul ketika karakteristik tersebut dijadikan standar moral. Laki-laki dianggap tidak berharga jika mereka tidak memiliki ambisi besar, kekuatan fisik yang menonjol, atau kendali penuh atas orang lain.

Budaya populer seperti film dan musik juga berperan besar dalam melanggengkan standar ini. Kita sering melihat pahlawan pria dalam film aksi yang tidak pernah bicara soal perasaannya, selalu menyelesaikan masalah dengan kekerasan, dan mendapatkan wanita sebagai “hadiah” atas keberaniannya. Pesan yang ditangkap oleh anak muda adalah bahwa komunikasi emosional itu tidak penting dan kekuatan adalah satu-satunya mata uang yang berharga. Standar ini menciptakan beban ekspektasi yang berat, di mana seorang pria merasa identitasnya terancam hanya karena dia tidak menyukai olahraga atau lebih memilih untuk menjadi ayah rumah tangga.

Selain itu, tekanan dari sesama pria atau yang sering disebut dengan peer pressure juga memperkuat perilaku ini. Dalam kelompok pertemanan pria, sering kali ada ejekan bagi mereka yang dianggap “lembek” atau “kurang laki”. Hal ini membuat banyak pria merasa harus berakting atau memakai topeng agar bisa diterima oleh lingkungannya. Mereka tertawa pada lelucon yang merendahkan atau melakukan tindakan berisiko hanya untuk membuktikan bahwa mereka adalah bagian dari kelompok pria yang tangguh. Akibatnya, jati diri yang asli terkubur di bawah lapisan ekspektasi sosial yang sebenarnya menyesakkan.

Dampak Buruk Terhadap Kesehatan Mental dan Hubungan Sosial

Salah satu konsekuensi paling menyedihkan dari toxic masculinity adalah isolasi emosional. Banyak pria yang merasa tidak memiliki tempat aman untuk berbagi beban pikiran mereka. Karena menangis dianggap tabu dan mengakui ketakutan dianggap sebagai tanda kegagalan, pria cenderung memendam masalah mereka dalam diam. Statistik menunjukkan bahwa meskipun wanita lebih sering didiagnosis menderita depresi, pria memiliki angka kematian akibat bunuh diri yang jauh lebih tinggi. Hal ini seringkali terjadi karena pria enggan mencari bantuan profesional atau berbicara dengan orang terdekat sebelum semuanya terlambat.
Dalam ranah hubungan romantis, toxic masculinity seringkali menjadi penghalang terciptanya kedekatan yang tulus. Hubungan yang sehat membutuhkan komunikasi yang terbuka, empati, dan keberanian untuk menjadi rentan. Jika seorang pria merasa harus selalu dominan dan tidak boleh menunjukkan kelemahan, maka pasangannya akan sulit untuk benar-benar mengenalnya. Hal ini juga dapat memicu perilaku posesif atau cemburu yang berlebihan sebagai bentuk upaya mempertahankan kendali. Pria yang terperangkap dalam pola pikir ini mungkin melihat pasangan mereka bukan sebagai rekan sejajar, melainkan sebagai objek yang harus diatur.

Selain itu, dampak ini meluas hingga ke lingkungan kerja. Budaya kompetisi yang tidak sehat dan keinginan untuk selalu terlihat paling kuat di kantor dapat menciptakan lingkungan kerja yang penuh tekanan dan tidak produktif. Pria mungkin merasa malu untuk mengakui bahwa mereka kewalahan dengan beban kerja atau butuh waktu untuk keluarga. Keinginan untuk selalu menjadi “alpha” di setiap situasi seringkali menghalangi kerja sama tim yang efektif. Pada akhirnya, semua orang kalah dalam sistem yang mengutamakan dominasi di atas kolaborasi.

Membedah Mitos Bahwa Mengkritik Toxic Masculinity Berarti Membenci Pria

Penting untuk ditegaskan bahwa mengkritik toxic masculinity bukanlah upaya untuk mengebiri kaum pria atau melarang pria menjadi maskulin. Ada banyak sisi maskulinitas yang sangat positif, seperti sifat melindungi, tanggung jawab, kepemimpinan, dan keberanian. Masalahnya bukan pada maskulinitas itu sendiri, melainkan pada kata “toxic” atau racun yang menempel padanya. Kita hanya ingin membuang bagian-bagian yang merusak, bukan membuang identitas pria secara keseluruhan. Menjadi pria yang sehat berarti mampu melindungi orang lain sekaligus mampu meminta bantuan saat diri sendiri sedang rapuh.

Ada kesalahpahaman umum yang menganggap bahwa gerakan ini ingin membuat pria menjadi seperti wanita. Padahal, tujuannya adalah memberikan kebebasan bagi pria untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa takut dihakimi oleh standar gender yang kaku. Seorang pria tetap bisa menjadi maskulin meskipun dia hobi memasak, menangis saat menonton film sedih, atau memilih untuk tidak terlibat dalam konflik fisik. Kekuatan sejati seorang pria justru terletak pada integritas dan kemampuannya untuk mengelola emosi dengan cara yang dewasa, bukan dengan menekan perasaan tersebut sampai meledak.
Masyarakat yang lebih sadar akan bahaya toxic masculinity sebenarnya adalah masyarakat yang lebih aman bagi pria. Dalam dunia yang lebih terbuka, pria tidak akan merasa terbebani untuk menjadi pencari nafkah tunggal jika mereka tidak mampu, mereka tidak akan merasa malu jika memiliki hobi yang dianggap feminin, dan mereka akan merasa lebih nyaman untuk merawat kesehatan mental mereka. Ini adalah perjuangan untuk kebebasan berekspresi bagi semua orang, termasuk kaum pria yang selama ini diam-diam menderita di balik topeng ketangguhan mereka.

Langkah Menuju Maskulinitas yang Lebih Sehat dan Inklusif

Transformasi menuju maskulinitas yang lebih sehat harus dimulai dari tingkat individu dan keluarga. Para orang tua memiliki peran krusial untuk mengajarkan anak laki-laki mereka bahwa tidak apa-apa untuk merasa sedih dan mengungkapkan perasaan melalui kata-kata. Kita perlu memberikan validasi bahwa empati adalah kekuatan, bukan kelemahan. Dengan mengubah cara kita mendidik generasi mendatang, kita sedang memutus rantai perilaku beracun yang telah diwariskan selama berabad-abad. Anak laki-laki yang tumbuh dengan rasa aman secara emosional akan menjadi pria dewasa yang lebih stabil dan menghargai orang lain.
Bagi pria dewasa saat ini, langkah pertama yang bisa diambil adalah mulai membangun lingkaran pertemanan yang mendukung kejujuran emosional. Cobalah untuk lebih terbuka dengan sahabat pria lainnya tentang masalah yang sedang dihadapi, baik itu masalah pekerjaan, finansial, maupun perasaan. Ketika satu pria berani membuka diri, biasanya pria lain di sekitarnya akan merasa mendapatkan izin untuk melakukan hal yang sama. Menghancurkan stigma ini membutuhkan keberanian kolektif untuk mengakui bahwa kita semua hanyalah manusia biasa yang bisa merasa lelah dan butuh dukungan.

Selain itu, penting bagi kita untuk terus mendukung narasi yang lebih beragam tentang pria di media dan ruang publik. Kita butuh lebih banyak contoh pria yang sukses namun tetap mengutamakan keluarga, pria yang berani berdiri melawan ketidakadilan tanpa kekerasan, dan pria yang tidak takut untuk meminta maaf ketika melakukan kesalahan. Maskulinitas yang sehat adalah tentang pertumbuhan, penerimaan diri, dan rasa hormat terhadap sesama. Dengan merangkul versi diri yang lebih otentik, pria tidak hanya akan menyelamatkan hubungan mereka dengan orang lain, tetapi juga menemukan kedamaian dalam diri mereka sendiri.

The short URL of the present article is: https://tegaroom.com/gw7o